25 Februari 2010

Membangun anak yang berkarakter dan berjiwa entrepreneur




oleh Drs. H. Jedi Hepiadi

Menurut Prof. Dr. Arief Rahman Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNICEF, kecerdasan adalah kemampuan mengolah sehingga dapat mengerti perbedaan, membuat daftar prioritas, menyelesaikan masalah, membentuk jaringan, mengasosiasikan dan bisa mempunyai daya ingat yang kuat kemudian juga mempunyai kemampuan untuk percaya, berpegang teguh pada prinsip, dan banyak lagi kemampuan yang lain.

Kesuksesan hidup di tengah masyarakat tidaklah sekedar ditentukan pada seberapa pintar diri kita melainkan lebih banyak bergantung kepada seberapa besar kita mampu berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Di awal tahun 90-an, Daniel Goleman memaparkan hasil penelitiannya yang cukup mencengangkan dunia lewat bukunya Emotional Intelligence (EI). Menurut Goleman, tingginya IQ ternyata tidak berpengaruh pada sukses tidaknya seseorang di masa depannya. Kecerdasan intelektual nyatanya hanya menyumbangkan 20% saja pada kesuksesan hidup seseorang, sementara 80% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Persoalan lain yang tampaknya menjadi kendala bagi lahirnya manusia-manusia yang siap terjun ke dalam era teknoindustrial ialah adanya fenomena pendidikan kita yang tidak merangsang berkembangnya kreativitas, masih sedikit materi pelajaran diberikan dengan metode merangsang pelajar untuk melakukan riset secara mandiri maupun kolektif. Padahal era teknoindustrial sangat membutuhkan hal itu. Selama ini, sejak dini anak-anak sudah disuguhi referensi bahwa role model (teladan peran) mereka adalah orang-orang profesional yang bekerja pada sektor-sektor yang memberikan jaminan ekonomi stabil, meskipun pas-pasan. Amat langka mereka diberikan role model yang mempunyai jiwa entrepreneur. Parahnya sistem pendidikan kerap diprogram dengan memfokuskan pada hasil akhir, bukan pada proses pembelajaran, anak-anak sering mogok dan menjadi kacau. Mayoritas diantara mereka bersprestasi buruk karena dipaksa belajar dengan mengikuti aturan yang kaku.

Joyce Wycoff dalam bukunya Menjadi Super Kreatif mendefinisikan kreativitas sebagai “ baru dan bermanfaat “. Orang yang kreatif adalah orang yang membawa makna atau tujuan baru dalam suatu tugas, menemukan penggunaan baru, menyelesaikan masalah, atau memberikan nilai tambah atau keindahan.

Kreativitas sebenarnya dapat diajarkan dan ditumbuhkan, apalagi sebenarnya secara alamiah seorang anak pada dasarnya adalah kreatif. Namun saat ini banyak keluhan yang diajukan berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah. Banyak orang mengatakan bahwa :

Proses pembelajaran di sekolah saat ini belum banyak memberikan perhatian bagi pengembangan kreativitas siswa. Siswa tidak dirangsang untuk menemukan dan memecahkan masalah mereka sendiri. Mereka cenderung dipola untuk memberikan hanya satu jawaban terhadap suatu masalah dan tidak dibiasakan untuk mencari jawaban alternatif. Terlalu banyak penekanan pada jawaban yang benar dan pemikiran yang “aman”. Akibat yang timbul dari model pembelajaran yang seperti ini adalah anak jadi merasa takut untuk berbuat salah, takut gagal, serta takut menjadi bahan tertawaan bila berbeda dengan orang lain."

Kreativitas mereka menjadi terpasung. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu SD kehilangan motivasi untuk mengikuti pelajaran menggambar di sekolah karena gurunya memintanya untuk mengganti warna awan yang dibuatnya dari kuning menjadi biru atau putih sebab menurut sang guru kuning bukanlah warna yang tepat untuk awan. Contoh lain, seorang murid yang banyak bertanya kepada guru ketika guru sedang menerangkan bukannya diapresiasi atau dihargai malah dicap sebagai pengacau kelas atau seorang anak yang banyak aktif terlibat dalam kegiatan OSIS di sekolah ditegur oleh gurunya sebagai anak yang kebanyakan “gaul” hanya karena kebetulan nilai-nilainya di kelas tidak bagus. Sekolah kemudian berubah menjadi pembatas bagi sifat kreatif alami seorang anak melalui berbagai aturan, keharusan patuh pada guru dan pemberian jawaban yang harus sesuai dengan keinginan guru. Perlahan tapi pasti sifat alami kreatif yang dimiliki oleh anak-anak kemudian harus padam begitu mereka memasuki dunia sekolah. Tidak heran bila kemudian suatu hasil penelitian mengungkapkan bahwa kreativitas siswa-siswi SD di Indonesia ada dalam peringkat yang paling rendah di Asia Timur.

Kita memang tidak dapat menutup mata terhadap keluhan-keluhan tersebut sebab memang hal tersebut banyak ditemukan dalam proses pembelajaran di sebagian besar sekolah kita saat ini. Belum banyak sekolah yang mampu untuk secara maksimal memfasilitasi pembelajaran di sekolah menjadi sebuah proses yang menyenangkan dan bermakna bagi siswa. Materi pelajaran di sekolah yang disampaikan secara terpisah juga membuat siswa frustasi, karena sebelum mereka dapat menguasai satu topik mereka sudah harus melompat dan pindah ke topik lain.

Permasalahan yang mucul di kalangan anak-anak SMP dan SMA menurut data WHO yang menyebutkan setiap tahun ada sekitar 500 ribu perempuan yang meninggal dunia karena melahirkan dan lebih dari 65 ribu diantaranya adalah remaja perempuan meninggal karena aborsi yang tak aman.

Menurut data dari kantor BKKBN Pusat ada 15 juta perempuan remaja melahirkan anak dimana sebagian besar mereka sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan ada sekitar 42 juta penduduk dunia saat ini menderita HIV/AIDS dan separuh dari mereka adalah remaja. Masalah lain yang sangat menonjol dalam masalah remaja adalah kebutuhan yang kuat untuk memperoleh tempat dalam lingkup teman sebaya caranya antar lain tampil trendy secara fisik seperti potongan rambut, penataan dan pewarnaannya serta pakaian dan aksesorisnya. Di rumah mereka menunjukkan sikap semau gue, sulit diajak kompromi dan cenderung merahasiakan apa yang dilakukan dengan rekan sebaya.

Mereka mulai mencoba merokok, ingin mengendarai mobil sendiri dan enggan pergi bersama keluarga dan orang tua. Kehidupan emosi mereka sangat peka, artinya kesedihan, kegembiraan dan kemarahan silih berganti dengan mudah tanpa terduga.

Istilah lain dari penyakit remaja menurut Prof.Dr.Dadang Hawari dikenal dengan MO-LIMO (5-M) yang merupakan singkatan dari Madat, Minum, Main, Maling dan Madon. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya penegakkan hukum. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemiskinan yang mencakup 3 jenis, yaitu kemiskinan materi, kemiskinan iman dan kemiskinan informasi yang benar dan bertanggungjawab.

Disamping hal-hal di atas Andrias Harefa menyatakan ; “Di mana peta ketenagakerjaan kita menunjukkan bahwa angkatan kerja usia produktif berjumlah sekitar 109 juta orang”. Dari jumlah tersebut 40-an juta berada pada kondisi setengah menganggur, bekerja kurang dari 35 jarn seminggu. Lalu, lebih dari 10 juta orang berada pada kondisi tidak memiliki nafkah hidup sarna sekali. Belum lagi setiap tahunnya sekitar 2 juta angkatan kerja baru memasuki bursa tenaga kerja. Sementara para ahli mengatakan bahwa bila Indonesia mengalami pertumbuhan 1 %, maka lapangan kerja yang tersedia sekitar 300-350 ribu. Jadi, untuk menyerap tenaga kerja baru, perekonomian kita harus tumbuh sekitar 7% atau lebih. Kalau tidak demikian, maka jumlah pengangguran akan terus meningkat tajam. ltu sebabnya ada sinyalemen bahwa di tahun 2010 tenaga kerja yang menganggur akan mencapai 57 juta orang. Apa jadinya dengan anggota keluarga yang menjadi beban tanggung jawab sebagian angkatan kerja tersebut? Solusi terhadap persoalan di atas hanya bisa diharapkan dari sosok manusia yang kita sebut enterpreneur. Jika setiap tahun, sekitar 5% saja dari angkatan kerja baru bertekad bulat menjadi enterpreneur, maka kita memiliki 100.000 calon enterpreneur tiap tahunnya. Andai 10% saja yang berhasil menjadi entrepreneur, maka kita memiliki 10.000 enterpreneur baru. Dan, bila setiap enterpreneur ini secara bertahap berhasil memberikan lapangan pekerjaan kepada rata-rata 50 orang, maka 500.000 tenaga kerja sudah terserap. Secara pribadi, sang enterpreneur tentu makin kaya. Dan itu sah-sah saja, mengingat ia sudah berjuang untuk menampung 50 orang yang cita-citanya ingin jadi pegawai saja.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita, baik sebagai orang tua,guru atau remaja itu sendiri, mampu mengelola problematika ini menjadi potensi yang konstruktif?. Sejauh orang tua dan guru mampu memberikan toleransi dan pemahaman yang diperlukan remaja sebagai generani penerus bangsa pada saat melalui masa transisi ini, maka permasalahan tersebut akan teratasi dan dalam kurun waktu sekitar 6-12 bulan.

Oleh karena itu saat ini sudah waktunya pemuda untuk bangkit mengejar ketertinggalan salah satunya dengan mendirikan dan mengembangkan pendidikan berkualitas dalam berbagai hal sebagaimana dikutip oleh Ary Ginanjar, pendidikan yang berkualitas harus meliputi 3 aspek kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Tinggal sekarang tugas kita para pakar pendidikan dan praktisi pendidikan untuk membuat format lembaga pendidikan yang bagaimana yang dapat mencerminkan ke-3 kecerdasan tersebut di atas yang dapat membangun generasi yang berkarakter dan bejiwa entrepreneur dengan ciri-ciri sbb :


  • Memiliki Advertensity Quontient seorang climber yaitu yang pantang menyerah dalam menghadapi tantangan dan tidak pernah berhenti sebelum tujuannya tercapai
  • Memiliki mimpi dan berusaha untuk mewujudkannya dalam kenyataan
  • Mampu mengembangkan inovasi baru, kreatif dan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi
  • Bersedia memikul resiko ( high risk taker)
  • Memiliki kebutuhan tinggi untuk mandiri, otonom, tidak berada di bawah otoritas orang lain
  • Memiliki jaringan hubungan yang luas dan mampu membina hubungan pribadi yang baik

Bangkitnya era entrepreneur ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan di negeri tercinta ini. Dan untuk mampu menjadi seorang entrepreneur sukses dibutuhakan proses sosialisasi dan pembiasaan yang tidak dapat tercipta hanya dalam waktu semalam. Maka disinilah fungsi pendidikan yang harus mencoba dan berani menerapkan secara serius terhadap kurikulum yang mendorong tumbuhnya jiwa entrepeneurship pada anak didik dan dapat diintegrasikan ke dalam metodologi pengajaran pada semua mata pelajaran secara intensif untuk dapat menghasilkan entrepreneur di masa depan semoga. Amiin